Senin, 07 Desember 2015

The End of Our Story

Malam itu, gue merasa perasaan gue nggak enak. Entah apa penyebab perasaan ini datang. Bahkan, beberapa kali bercermin untuk melihat bayangan gue dan memastikan bahwa gue baik-baik saja.

Gue kembali ke tempat tidur. Menghela napas sejenak, kemudian melihat layar handphone dengan seksama. “Apapun yang terjadi malam ini, gue Cuma mau semuanya beres. Bismillah aja deh.” Gue ngomong sendiri.

Lagu secondhand serenade “your call” sedang kudengarkan saat itu. Benar saja, pada saat itu juga ada chat masuk dari dia, ya orang yang sempat kuceritakan waktu itu.

“gue minta maaf ya sama lo. Nggak usah tanya kenapa, pokoknya gue minta maaf sama lo” ucapnya.

“tijel dah knp minta maaf. Ga ada yang salah juga kan? Haha” balas gue.

“haha yah minta maaf aja trus makasih ya wkwkwk” balasnya cepat.

“yah gue yang harusnya minta maaf. Gue emang egois. Lo udah tau semua pasti kan? Maafin ya” balas gue sambil berpikir entah apa yang terjadi.

“iya gua udah tau, pokoknya gua minta maaf sorry kalo suka dingin sama lu, terus makasih yah selama ini udah care sama gua. Yang egois itu gua. Ya pokoknya salah gua dah maafin ya”

Entah kenapa balasan darinya ini membuat gue seketika sesak dan nggak tau harus ngapain. Gue Cuma bisa terdiam, hingga akhirnya untuk pertama kalinya air mata gue jatuh.

“ah jadi sedih deh” balas gue dengan perasaan campur aduk.

“yah ga usah sedih. Maaf udah buat lu sedih, kan kita masih bisa jadi temen deket kan J

Jawaban darinya membuat gue sedikit lega. Saat ini, gue merasa dia orang yang selalu membuat gue luluh. Ah sudahlah, malam itu menjadi malam yang panjang untuk kita (re: aku dan kamu). Gue banyak belajar dari kejadian malam itu, bahwa sesungguhnya cinta tidak bisa dipaksakan.

“gua gak mau abis ini lu jadi kaku sama gua. Biasa aja ya kita” ucapnya terakhir.

Kalau boleh jujur, ini adalah pertama kalinya gue nangis karena hal seperti ini. Entah kenapa malam itu gue berubah menjadi sosok yang sangat lemah, sosok yang bukan gue. Semakin malam, semakin tidak karuan juga perasaan gue. Bahkan sampai gue selesai menulis tulisan ini, masih ada bekas-bekas sesak di dalam sini.

Di satu sisi, gue merasa lega karena semuanya sudah selesai. Tapi di sisi lain, gue menyesali kenapa semuanya bisa terjadi seperti ini. Kenapa gue nggak bisa menyimpan ini sendirian? Kenapa gue nggak bisa nahan diri gue sendiri?

gue nggak tau. Gue Cuma nggak bisa lepas dari lo. Dari awal kenal, sampai saat ini, dengan siapapun gue bersama, gue tetep nggak bisa nyaman kalo nggak sama lo, walaupun pada saat itu gue berusaha ngelupain lo. Dalam beberapa pendekatan, bahkan gue bisa ikhlas ketika semuanya harus berakhir. Setiap gue mulai dengan yang baru, pasti ada aja waktu dimana gue keingetan lo, dan itu mengubah semuanya. Ketika puncaknya terjadi, rasanya sakit sekali didalam ini. Sampai akhirnya belakangan ini akhirnya gue mendapatkan your call, sebuah panggilan dalam hati, yang meyakinkan bahwa it’s not over. Tapi itu dulu, sebelum semuanya terbuka seperti saat ini.

gue juga udah ngebohongin diri gue sendiri dengan berusaha jauh-jauh dari lo.

awalnya, iya, gue pikir yang kita butuhkan hanya waktu. Waktu yang nantinya akan membuat kita sadar bahwa kita saling membutuhkan satu sama lain. Setelah kejadian malam itu, gue berusaha menghilangkan jejak sekecil apa pun tentang lo. Tapi apa yang gue dapat? Ketika gue benar-benar hampir lupa, lo datang lagi.

entahlah. Semuanya seperti kebetulan. Kayak tiba-tiba teman kita ngechat gue cuma sekedar ngasih tau kalo lo lagi begini begini, sampai nggak sengaja baca chat di handphone temen tentang kita. Gue ngerasa itu sebuah petunjuk. Gue berusaha untuk menyangkal itu semua, berusaha nggak percaya kalau lo segitu berkesannya di hidup gue.

terakhir kali, gue mau jujur sama lo. Waktu lo mau futsal, semua temen-temen pada nyuruh gue dateng, ngasih tau kalo hari itu sparing. Kata mereka, gue suruh nontonin lo. Ya jelas gue nggak mau. Gue nggak mau bukan karena benci sama lo. Gue Cuma berusaha nggak mau teringat lagi. Asal lo tau, semakin gue mengindar dari lo, nggak mau tau tentang lo, justru semakin dekat dengan lo. Entah lewat teman-teman lo, teman-teman gue atau siapapun itu.

Lo akan selalu ada di sana, di pojok hati gue yang terdalam, karena gue sadar bahwa lo terlalu berharga untuk dilupakan. Bahkan hati ini sepakat tidak ingin menghapus lo dari hidup gue. Kini saatnya gue mengucapkan kata yang sebenarnya tidak ingin gue ucapkan sejak gue sadar telah jatuh hati. Dua kata yang sebenarnya masih ragu untuk diucapkan.

“berjalan mundur.”

Satu hal yang tidak gue inginkan saat kita berjumpa lagi, gue nggak mau kita terlihat canggung di depan orang. Gue mau mulai sekarang lo belajar menghargai kebersamaan kita waktu itu sebagai sebuah pelajaran berharga. Karena cinta itu tidak egois, ada kalanya satu pihak harus rela berjalan mundur karena sudah tidak kuat berjuang. Biar kali ini gue yang berjalan mundur dan membiarkanmu tetap disini.

Gue akan selalu disini, gue yang tidak akan pernah bisa memiliki namun tetap menyimpan perasaan padanya.

Sabtu, 05 Desember 2015

December, 2015

Kalo mau menengok sedikit ke belakang, Gue nggak pernah mengerti gimana seseorang bisa jatuh cinta. Sesungguhnya hal itu bisa saja terjadi dari hal-hal sederhana, seperti saling melempar senyuman. Cinta juga bisa datang karena kebiasaan-kebiasaan yang tidak sengaja dilakukan bersama. Namun tak jarang juga, cinta datang karena menunggu. Entah berapa lama akhirnya masing-masing dari diri mereka menyadari bahwa itu cinta.

Namun, ada sebuah kesimpulan yang bisa gue ambil dari beberapa pernyataan gue diatas tadi. semuanya membutuhkan kesempatan. Kesempatan butuh keadaan. Sayangnya, banyak pula cinta yang harus berakhir karena keadaan, seperti “maaf, tapi menurut aku kita lebih cocok jadi teman”.  Pernyataan itu hanyalah akal-akalan mereka yang tak punya perasaan yang sama hanya supaya nggak terlalu keliatan berdosa.

Percayalah, orang yang tepat itu akan datang.

Kadang, sepasang orang membutuhkan terlalu lama waktu untuk menyadari bahwa sebenarnya yang mereka butuhkan sudah ada di depan mata. Hanya saja, mereka terlalu terfokus untuk mengejar yang diinginkan sampai pada akhirnya, “seseorang tanpa sadar melepas orang yang membuatnya nyaman, hanya demi orang yang membuatnya kagum”.

Pada akhirnya, kita hanya ingin terjatuh pada mereka  yang meski sama penuh luka, tapi dipertemukan untuk saling menyembuhkan.




Ditulis pada suatu malam yang paling sunyi