Senin, 09 Februari 2015

Berakhir Terluka

            Udara Bekasi malam ini membawa aku dalam ingatan-ingatan yang harusnya tidak aku pikirkan lagi. Kesal dengan pikiran sendiri, aku memutuskan untuk mematikan laptop dan beranjak masuk kamar. Suara hujan di daerah rumahku semakin deras. Kupasang headset dan kuputar lagu-lagu yang tanpa sadar membawaku pada suasana mellow. Aku membuka aplikasi chat yang biasa kugunakan. Kulihat banyak sekali temanku yang sedang online. Seusai melihat-lihat kontak di aplikasi chat tersebut, akhirnya aku memutuskan untuk kembali mengirim pesan kepada temanku, Rama. Dia adalah salah satu teman pria yang akhir-akhir ini berhasil membuatku penasaran karena sikapnya yang selalu cuek.
            “Ram.” Aku mulai mengirimnya.
            “ya.. kenapa Na?”
            “gapapa Ram.. hehe” balasku.
            “yeh -_-“ aku membaca pesan itu sambil memikirkan balasan apa lagi yang akan ku kirim padanya.
            “lo lagi apa?” aku mengetik pertanyaan sambil bersantai dikamar sembari menikmati rintikan hujan malam ini.
“sorry baru bales, gue lagi main laptop aja.”
Kutatap pesan diponselku, aku tak segera membalas pesan itu. Jawaban darinya terasa hangat bagiku.
Memang hanya tulisan, beberapa hari ini aku dan dia hanya berhubungan via tulisan, via dunia maya, tetapi entah mengapa aku merasa ada kehangatan yang lembut dihatiku. Ada kebahagiaan kecil yang aku rasakan ketika bisa bercakap dengannya, meskipun hanya melalui huruf-huruf di ponsel.
“oh lagi ga kumpul toh?” lanjutku membalas pesannya.
“nggak nih, lagi pengen dirumah aja.” Pesan itu belum kubaca. 10 menit kemudian, kembali aku melihat aplikasi chat itu. Dia mengirim sebuah pesan lagi.
“kenapa emang?”
“gapapa sih, Ram. Btw lo kesepian dong kalo dirumah aja haha.” Aku tertawa dalam hati.
“nggak kok haha”
“udah malem nih, lo nggak tidur?” tanyaku padanya.
“belum ngantuk, kalau mau duluan, duluan aja gapapa.”
“oke, selamat malam.”
Percakapan kami berakhir, aku tidak tahu harus merasa lega atau malah menyesal setelah bercakap dengannya. Memang selama ini tidak pernah sekalipun kami saling bertegur sapa ketika bertemu.
Keesokan harinya, kegiatan kami dikampus berlangsung seperti biasa. Seperti yang sudah aku katakana sebelumnya, ketika kami berada di satu tempat yang sama, kami tidak pernah bertegur sapa, seakan-akan Rama adalah orang asing bagiku, begitu juga sebaliknya.
Kali ini aku punya kesempatan lebih untuk bisa berbincang dengannya, karena kebetulan kami satu kelompok dalam mata kuliah Bahasa Inggris. Kebetulan juga, sahabatku Radit juga menjadi teman sekelompokku.
“yaelah diem-dieman aja lo pada” ucap Radit.
“yeh.. emang harus gimana coba?” balas Rama.
“apa sih dit.. ini kan baru aja, ntar juga akrab sendiri *eh haha” tanggapku sambil tertawa.
“wah wah Na, jangan-jangan….” Radit mulai curiga padaku.
Entah apa yang ada dipikiranku saat ini, aku menaikan sedikit alisku karena bagiku percakapan singkat ini menyenangkan. Ah andai saja percakapan tadi bisa berlanjut sampai saat ini. Kali ini wajahku benar-benar sumringah dan tak bisa lagi aku menahan senyum lebarku.
“dih kenapa lo Na senyum-senyum sendiri?” Tanya Radit.
“ah elah kepo banget lo dit haha” jawabku.
“tuh kan bener.. pasti lo ada something kan sama temen sekelompok kita?”
“sstt… diem deh dit, ga ada apa-apa kok haha” jelasku.
Setelah lelah dengan aktivitas dikampus, aku memilih bersantai sejenak sebelum harus kembali mengerjakan tugas-tugas kuliah. Pukul 19:00, aku duduk diam di depan laptopku, memikirkan kata-kata yang harus aku tulis tentang bahasa pemrograman dalam laporan akhir praktikumku. Berkali-kali aku mengkombinasikan kata-kata untuk menyempurnakan laporan ini.
Ketika aku sibuk mengerjakan laporan ini, ponselku berbunyi sekali, tanda ada chat yang masuk. Aku melirik ke layar ponsel, dan nama Rama tertera disana. Nama itu seketika membuat konsentrasiku buyar, aku memandang ponselku, menghela napas dan berusaha sebisa mungkin melanjutkan laporan ini.
Aku berusaha untuk tetap fokus menyelesaikannya, dan ponselku berbunyi lagi. Akhirnya kubuka pesan itu.
“Na gue mau tanya tentang tugas.” Tanya Rama.
“oh, iya. Nanya apa Ram?” jawabku
“tugas kelompok kita apa sih Na? dikumpulin kapan? lupa gue hehe..”
“oh itu, kita disuruh buat makalah tentang business, Ram. Dikumpulin bulan depan kok” Jawabku.
“oke deh, thanks Na haha”
“iya sama-sama Ram J
“btw, sampai jumpa di kampus besok, yaaa..”
Percakapan kami berakhir. Aku berlari ke atas tempat tidur sambil meloncat-loncat kegirangan. Malam ini Rama berhasil membuatku bahagia, tak pernah aku merasa sebahagia ini.
Hari ini kelas kami ada jadwal kuliah pagi dikampus. Pukul 08:00 aku sudah berada dikampus dan 10 menit kemudian dosen matematika sudah masuk ke kelas.
“lah sepi amat nih kelas, pada kemana ye?” Tanya Radit.
“mana gue tau, pada kesiangan kali.” Jawabku.
“Rama mana dah, tumben belum dateng tuh orang” sambungnya.
Kata-kata Radit tadi membuat aku sadar, bahwa ternyata Rama belum ada dikelas. Sesegera mungkin aku mengirim pesan kepadanya.
“Rama, dimana? Udah ada dosen nih..”
“iya Na? gue kesiangan nih hehe.. paling masuk nanti siang.” Jawab Rama
“yeh, pasti gara-gara semalem begadang nonton bola ya? Ya udah deh.” Balasku.
“iya Na, baru tidur subuh tadi.. semangat ya belajarnya.” Ucap Rama.
Aku tersenyum melihat kata-kata terakhir yang ditulis Rama untukku. Ya, lagi-lagi dia berhasil membuat aku bahagia.
 Sudah empat bulan ini aku dan Rama dekat. Rama selalu memberi respon positif dan kadang romantis. Aku begitu nyaman saat berada di dekatnya. Kebersamaan dan pertemanan yang berjalan sejauh ini menimbulkan kesan berbeda didadaku. Aku mulai mencintainya, tapi aku takut segalanya berubah dengan cepat jika aku menuntut status dan kejelasan. Aku tak ingin segalanya berubah dengan cepat karena dia sudah menjadi zona nyaman bagiku. Percakapan kami sehari-hari terjalan begitu mesra. Kami semakin sering menghabiskan waktu bersama, namun masih saja dia jarang menyapaku ketika dikampus.
Kali ini aku dan Rama punya janji untuk bertemu disebuah café dibilangan kemang. Sesampainya disana kulihat Rama sudah duduk disalah satu café yang memang menjadi tempat favoritnya.
“hai Ram, udah lama ya?” tanyaku.
“hai Na, nggak kok baru aja lima menit. Duduk Na” jawabnya
“eh kamu mau pesan apa?” tanyanya lagi.
“aku ice cappuccino aja Ram.” Jawabku.
Entah mengapa hari ini pikiranku mulai tidak karuan. Aku harus meyakinkan diriku sendiri bahwa inilah saatnya aku harus mengatakan yang sesungguhnya pada Rama. Tak lama kemudian, Rama datang dengan membawa pesananku. Kali ini aku yang memulai percakapan lebih dulu
“Ram, aku mau ngomong sama kamu. Boleh kan?”
Rama tak langsung menjawab pertanyaanku. Dari raut wajahnya, dia juga tampak kebingungan. Berkali-kali dia menghembuskan napas panjang, seperti ada hal yang dikhawatirkan.
“kamu dengerin aku nggak sih?”
“iya, iya. Aku dengerin kamu, kok. Kamu mau ngomong apa Na? Kelihatannya serius banget.”
“aku bingung” aku menundukkan kepala. “aku bingung harus bilang apa sama kamu.”
“loh kenapa sih Na? Cerita aja.” Rama mencoba menenangkanku.
“kamu merasa ada sesuatu yang aneh di antara kita nggak, sih?”
“aneh gimana?”
“ya, aneh aja. Kamu nggak ngerasa kita udah terlalu deket?”
“ehmm.. aku ngerasa udah deket banget sih sama kamu.”
“terus? Kamu ngerasain apa lagi?”
“aku nyaman sama kamu. Itu aja.”
“kamu nggak punya perasaan yang lain?”
Dia terdiam. Pertanyaanku seperti menguap di udara. Matanya menatapku, kemudian menatap ke arah lainnya. Beberapa detik dia terdiam, dia kembali membuka suara,
“besok aku tanding futsal, kamu dateng kan?”
Mendengar tanggapan seperti itu, aku tak lagi membuka suara. Aku terdiam dan menatap matanya dengan tatapan mendalam. Kuingat segala hal manis yang pernah kulakukan bersamanya. Mataku berair, tapi sekuat mungkin aku tidak menjatuhkan air mataku.
“sudah Na, akan ada waktunya aku menjawab pertanyaanmu tadi. Sekarang lebih baik kita pulang, besok kita ketemu di tempat biasa aku futsal ya.”
“iya Ram besok aku datang kok, makasih ya..”
“loh kenapa bilang makasih? Seharusnya aku yang bilang makasih sama kamu Na”
“hehe iya.. hati-hati dijalan Ram”
“iya kamu juga, hati-hati dijalan ya. Sampai ketemu besok.”
Sesampainya dirumah, aku menghubungi Radit dengan maksud memintanya untuk menemaniku menonton pertandingan Rama esok hari.
“dit” aku mengirimnya.
“kenapa na?” jawabnya.
“besok temenin gue yuk..” ajakku.
“kemana dah?” tanyanya.
“ke tempat futsal biasa Rama main. Besok dia tanding, gue disuruh nonton”
“yah sorry Na gue ga bisa. Udah ada janji duluan sama Ina gue. Lagian tumben amat lo ngajak gue? Haha”
“ya gapapa sih.. gue males aja kalo sendirian disana”
“kan nanti ada Rama, gimana sih lo -_-“
“iya sih, ya udah deh.”
“sip. Sorry ya”
Percakapan singkat aku dan Radit berakhir. Sejujurnya ada keraguan dalam diriku, apakah aku harus tetap menonton pertandingan Rama besok, atau tidak.
Keesokan harinya tepat pukul 10:00 pagi aku sampai di tempat futsal. Hari ini memang Rama akan bertanding di laga final, jadi ku sempatkan untuk melihatnya bertanding. Setelah melihat ke berbagai sudut tempat futsal, aku tak menemukan sosok Rama disana, maka segera ku SMS Rama.
“Ram, dimana? Aku udah di tempat futsal nih.”
“kamu disebelah mana?”
“aku di dekat kantin Ram.”
“oke aku kesana..”
Tak berapa lama setelah Rama membalas SMSku, Rama datang dengan wajah yang sumringah dan penuh semangat. Dia mengenakan jersey no.20 sesuai permintaanku padanya waktu itu. Wajah Rama terlihat sangat tampan, ditambah dengan postur tubuh yang sangat proposional membuat aku makin terpesona padanya.
“hay… makasih sudah datang.” Sambil mengelus-elus kepalaku.
“iya Rama! Sudah siap kan capt?” tanyaku.
“yes, I’m ready.. doain aku ya biar hari ini menang.” Jawabnya.
“pasti Ram, doaku menyertai kamu dan teman-temanmu. Titip 1 gol ya capt.”
“siap boss! Haha”
Setelah berbincang sebentar dengan Rama, dia pamit kepadaku untuk kembali bersama timnya karena dia harus melakukan pemanasan sebelum bertanding. Langkahku berjalan menuju tempat duduk tepat di depan lapangan yang akan digunakan Rama dan timnya bertanding. Aku kemudian duduk di samping seorang perempuan berpenampilan menarik. Perempuan itu tersenyum singkat kepadaku. Setelah 10 menit menunggu, kemudian tiba saatnya pertandingan final antara tim futsal BC melawan tim futsal Rama, yaitu PBFC. Selama pertandingan, aku dan perempuan di sebelahku sama-sama diam dan memperhatikan.
Penampilannya mantap dan skill individu Rama benar-benar ditunjukkannya hari ini. Aku bangga menyaksikannya bertanding dengan sangat baik, layaknya pemain professional.
Penonton meledak dalam teriakan yang dahsyat ketika salah satu pemain PBFC berhasil mencetak gol untuk keunggulan PBFC, dan ternyata yang mencetak gol adalah Rama. Rama melihat ke arahku isyarat bahwa golnya itu ia persembahkan untukku.
Setelah pertandingan berlangsung selama 2x20 menit, pertandingan pun selesai. Suara tepuk tangan sangat membahana di dalam tempat futsal ini. Aku dan perempuan di sampingku ikut bertepuk tangan. Aku sungguh bangga padanya.
Setelah break yang diisi dengan penampilan sebuah grup musik, kini saat yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba: penyerahan trofi juara.
Dia menjadi best player.
Aku hampir tak percaya saat mendengar namanya disebutkan. Selain berhasil membawa timnya menjuarai turnamen ini, dia pun dinobatkan sebagai best player. Sambil menerima trofi juara, di depan sana dia melambaikan tangan ke arahku, tapi entah mengapa tatapan matanya tak mengarah kepadaku.
Penyerahan trofi juara pun selesai, aku berniat meninggalkan tempat ini. Namun tiba-tiba ponselku berdering. Kulihat nama Rama di layar ponsel, kuangkat panggilan itu ragu-ragu. Dia mengajakku untuk ke kantin samping tempat futsal.
Aku berjalan menemui dia disana, menyaksikan beberapa temannya memberi ucapan selamat kepadanya sambil berfoto bersama.  Matanya berbinar terang dan wajahnya terlihat sangat bahagia. Namun entah mengapa perempuan yang sedari tadi duduk disebelahku, kini ada disamping Rama. Perempuan itu menggenggam tangan Rama dan merangkulnya. Rama mulai membuka suara,
“Na, kenalin ini orang yang sangat penting di hidup gue, sosok yang selalu ada disamping gue, namanya Kirana. Dia pacar gue.”
Aku tak mempercayainya. Tubuhku lemas seketika. Aku tak tahu harus berbuat apa. Ini rupanya jawaban Rama atas pertanyaanku saat kami berdua di café, kemarin. Aku terus terdiam seolah mati rasa.
Perempuan dengan wajah yang bahagia itu kemudian langsung berbicara, “jadi, ini yang namanya Ana? Yang bantuin kamu selama ini?”
Aku mengangguk lemah.
“tadi kamu duduk di samping aku kan?” ucap Kirana dengan ramah. Dia menjabat tanganku dan memperkenalkan namanya.
Rama langsung mengalihkan pembicaraan dan berkata, “aku juara, Ana. Makasih udah bantuin aku selama ini!”
Senyumku mengembang. “selamat ya! Aku bilang juga apa, kamu pasti juara!”
Sekarang aku tak tahu apakah aku harus tersenyum senang atau menunjukkan perasaan sedihku? Perasaanku campur aduk. Aku menghela napas, berusaha mengumpulkann kekuatan agar tetap terlihat baik-baik saja di depan dia dan Kirana.

Kirana pamit kepadaku dan Rama untuk membeli minum. Kini tinggal ada aku dan Rama. Tak ada satu pun dari kami yang berusaha untuk membuka suara. Aku masih menahan air mata ini agar tak jatuh di depan Rama.
Laki-laki itu, laki-laki yang kucintai langsung memeluk tubuhku, dan menggenggam jemariku. Aku menyambut peluk itu dengan air mata. Air mata yang ku akui sebagai air mata kebahagiaan. Namun Rama tak mempercayainya,
“kamu nangis kenapa? Kamu sakit hati sama apa yang aku lakukan padamu selama ini?”
Aku menggeleng.
“waktu itu kan aku sudah bilang sama kamu, kalau aku nyaman sama kamu. Na, percayalah padaku, aku tak pernah punya niat untuk menyakitimu. Kamu adalah orang yang selalu menyemangati aku, kamu tetap ada dihatiku.”
Air mataku jatuh makin deras. Aku juga tak mampu berkata apapun di depannya. Ucapan Rama itu tidak membuatku membenci Rama, namun malah membuatku makin mencintainya.
Rama mengambil dua lembar tisu dari tasnya dan berusaha menghapus air mata yang jatuh di pipiku. “jangan menangis lagi ya..” ucap Rama sambil terus memelukku.
Setelah berpamitan dengan Rama dan Kirana, aku segera meninggalkan tempat ini.  Rama mengantarku sampai dengan sebelum aku pulang, dia sempat berkata,
“hati-hati dijalan ya.. aku sayang kamu.”
Aku hanya terseyum kepadanya.

“Ah, ternyata orang yang pernah membuatmu tertawa paling kencang adalah orang yang akan membuatmu menangis paling kencang.” -dwitasari-


bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar